Selasa, 28 Juli 2015

Belajar dan Belajar Lagi



Baru-baru ini di sekolah, Adi, siswa kelas 4 SD, mendapat penghargaan sebagai “murid dengan kemampuan membaca terbaik di kelas”. Dalam sebuah acara yang dihadiri guru, siswa, dan orangtua murid, Adi dan teman-teman lain yang berprestasi, menerima piagam penghargaan di atas panggung, diiringi tepuk tangan meriah oleh semua orang yang hadir di situ. Betapa bahagia dan bangganya Adi! Inilah piagam pertama yang diterimanya.

Begitu tiba di rumah, Adi langsung ke belakang; menemui dan menyombongkan diri di hadapan pembantu rumahnya. Sambil menyodorkan piagam yang terbingkai indah, ia berkata lantang, "Mbaaak, coba lihat! Kalau mau, mbak juga bisa membaca sebaik aku lho!"

Si mbak terdiam sambil memandang pigura di tangannya agak lama dengan tatapan kagum dan berucap riang, "Wah hebat, Mas Adi. Mbak orang kampung, nggak sekolah. Makanya nggak bisa membaca dan menulis seperti Mas Adi. Selamat ya, Mas.."

Mendengar kalimat itu, Adi langsung berlari ke ruangan keluarga dan berkata dengan bangga kepada ayahnya. "Ayah, kasihan si mbak ya. Mbak nggak pernah sekolah dan nggak bisa membaca. Padahal Adi baru berumur 9 tahun, tapi Adi bukan hanya pandai membaca, bahkan mendapat penghargaan pula. Duuuh, aku jadi ingin tahu, bagaimana ya perasaan mbak dan orang-orang yang buta huruf lainnya kalau membuka buku tetapi tidak bisa membacanya sama sekali?"

Tanpa menjawab sepatah kata pun, sang ayah menuju rak buku dan mengambil sebuah buku, lalu membuka sembarang halaman dan memberikannya kepada Adi.

"Adi, coba lihat buku ini. “

Adi terdiam memandangi buku yang diberikan ayahnya, dan saat itu juga kesombongannya pun langsung menguap.

“Adi tidak bisa membaca satu huruf pun, Yah…”

Sang ayah melanjutkan berkata, "Buku ini ditulis dalam aksara Mandarin. Nah, sekarang Adi sudah bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh Mbak dan orang-orang yang buta huruf lainnya kan? Adi, sekolah memang tempat untuk belajar tetapi tidak perlu disombongkan. Kamu masih muda. Masih banyak sekali hal-hal baru yang harus kita pelajari di luar sekolah. Setiap orang, jika mampu dan mau belajar dengan giat, pasti bisa berprestasi. Tetapi akan lebih baik lagi kalau mampu berprestasi tanpa menyombongkan diri dan tidak perlu menghina orang lain yang tidak mampu. Adi mengerti?"

Seumur hidupnya, Adi tidak pernah melupakan pelajaran dari sang ayah. Jika perasaan sombong datang, dia dengan tenang akan mengingatkan dirinya, "Ingat, Adi, masih banyak aksara di luar sana yang tidak bisa kamu baca.”

Pembaca yang Bijaksana,

Setiap manusia dikarunia bakat yang berbeda-beda. Kita semua mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing, saat kita memunyai kelebihan,  pengalaman, atau skill tertentu bukan berarti  kita lebih segalanya dari orang lain. Apalagi  kita merasa sombong dan melihat orang lain lebih rendah.

Begitu sebaliknya pada saat  orang lain memiliki kelebihan, kekuatan, dan keterampilan tertentu bukan berarti kita kalah segalannya dari mereka, kita harus tetap sadar dan percaya bahwa ada kelebihan yang kita miliki.

Maka kita perlu selalu mengingatkan pada diri sendiri, saat kita punya kelebihan tidak perlu tinggi hati. Saat kita punya kelemahan tidak harus rendah diri, selalu siap belajar dan belajar lagi. Sehingga kita akan selalu mampu mengaktualisasikan diri dengan semaksimalnya dan meraih sukses yang luar biasa!

Pelajaran untuk Murid yang Sombong



Syukurilah setiap kelebihan dengan kerendahatian. Dengan begitu, setiap keunggulan akan mendatangkan keberkahan.

Alkisah, ada seorang pemanah yang sangat hebat. Ia dikagumi oleh banyak orang karena setiap kali memanah, tak ada satu pun yang tak bisa kena oleh panahnya. Karena keahliannya itu, ia diangkat menjadi guru memanah bagi prajurit istana.

Di antara murid-muridnya, ada satu murid yang juga sangat pandai. Setiap pelajaran dari sang guru, selalu berhasil diserapnya dengan cepat. Karena itu, ia pun menjadi murid yang paling menonjol di antara murid lainnya. Hal itu membuatnya jadi angkuh. Hampir setiap saat, ia selalu menantang teman-temannya untuk bertanding memanah. Dan, setiap kali pula, ia selalu berhasil menjadi pemenang. Karena itu, ia pun makin sombong.

Melihat hal itu, sang guru pun merasa harus melakukan sesuatu. Ia tak ingin, apa yang diajarkannya disalahgunakan oleh muridnya.

Maka, suatu pagi, ia mengajak muridnya itu berjalan-jalan. Sang murid merasa, ia akan mendapatkan pelajaran yang mahapenting dari gurunya. Karena, ia diajak seorang diri. Ia pun makin bersombong diri.

“Apakah Guru akan mengajarkan ilmu memanah paling hebat padaku?” tanyanya pada sang guru.
“Aku akan memberikan pelajaran terpenting, karena itu, bawalah busur terbaik dan panah terbaik milikmu,” jawab sang guru.

Setelah siap semuanya, mereka pun lantas pergi ke hutan. Guru dan murid itu berhenti di sebuah tanah lapang di pinggiran hutan. Saat itu, sang guru kemudian memetik sebuah bunga dan dikaitkan potongan rantingnya pada sebuah pohon.

Ia lantas meminta muridnya untuk mundur beberapa meter jauhnya. Setelah itu, ia berkata. “Wahai muridku, kamu lihat bunga yang aku kaitkan pada batang pohon tadi? Cobalah keluarkan busur dan panah terbaikmu. Bidiklah bunga itu,” ucapnya.

“Ahh.. itu gampang Guru! Dari jarak lebih jauh lagi pun aku bisa mengenainya,” potongnya sombong.

Sang guru hanya tersenyum. Ia lantas mengambil sebuah sapu tangan dari balik bajunya.

“Kamu memang muridku yang paling pandai. Untuk itu, aku ingin mengujimu. Pakailah sapu tangan ini untuk menutupi matamu, dan cobalah memanah sasaran yang kamu anggap gampang tadi,” perintahnya.

Sang murid tersenyum kecut. Ia kaget dengan perintah gurunya. Bagaimana mungkin ia memanah dengan mata tertutup? Tapi, karena ia tak bisa menarik kata-katanya, ia pun hanya menuruti gurunya. Lantas, dengan mata tertutup, ia pun berusaha mengingat-ingat, di mana sasaran itu berada. Ia pun menarik kencang busurnya, dan panah pun melesat jauh.

“Ayo, buka tutup matamu sekarang dan lihat, ke mana panahmu mengarah. Kamu katakan tadi, pasti gampang mengenainya,” perintah sang guru.

Begitu membuka penutup mata, ia melihat anak panahnya melesat sangat jauh dari sasaran. Bukannya mengenai bunga di pohon, tapi justru menancap di pohon yang jauh dari sasaran. Ia pun terlihat kecewa dan malu karena sebelumnya telah menyombongkan diri.

“Kamu lihat, dengan mata tertutup, kamu tak bisa melakukan hal yang kau anggap mudah. Bahkan, panahmu yang biasanya tepat sasaran, kini melenceng jauh. Ingatlah muridku, kemampuanmu itu bukan hanya buah dari kamu rajin berlatih. Tapi, tanpa mata yang awas, jeli, dan pandangan yang tajam, kamu tak akan bisa memanah. Itulah kekuatan dan berkat dari Sang Pencipta yang diberikan kepadamu. Tanpa itu semua, kamu tak berarti apa-apa. Karena itu, syukuri apa yang telah kamu miliki. Jangan jadikan itu sebagai kesombongan,” ujar guru bijak.

Sang murid pun tertunduk malu. Ia lantas berjanji, semua ilmu yang didapat akan digunakan semestinya.

***

Setiap orang pasti diciptakan dengan kelebihan masing-masing. Namun, semua kelebihan itu pasti ada batasannya. Karena itulah, kita selalu butuh orang lain untuk melengkapinya. Tak ada atlet hebat yang tak dibantu oleh pelatih dan orang-orang hebat di sekelilingnya. Tak ada pengusaha yang sukses tanpa dibantu oleh orang-orang yang mendukungnya. Tak ada pemimpin yang tangguh tanpa ditopang oleh rakyatnya.

Untuk itu, bila kita memiliki kelebihan, jadikan itu sebagai sarana untuk berbagi kebaikan. Layaknya guru, ilmunya justru akan semakin berarti saat ia berbagi ilmu. Dan, dengan kelebihan ilmu itu pula, ia akan menciptakan generasi unggul yang berarti bagi lingkungan sekitarnya. Jangan sebaliknya, menjadikan kelebihan sebagai nilai yang mendatangkan kesombongan. Sebab, keangkuhan hanya akan memicu kejatuhan.

Mari kita maksimalkan segenap potensi kita dengan makin bersyukur pada Sang Mahapencipta. Tanamkan selalu sikap rendah hati. Wujudkan syukur dengan terus berbagi kepada sesama. Dan, jadikan setiap kelebihan dan bakat yang dimiliki sebagai “ladang amal” untuk menyebarkan keberkahan bagi semua. Dengan begitu, setiap keberlimpahan yang kita miliki, akan jauh lebih bermakna.

Kisah Harimau dan Hutan



Sudah sekian lama, harimau dan hutan bersahabat. Mereka saling tolong-menolong satu sama lain. Harimau menjaga hutan. Demikian juga hutan  menyediakan hampir semua kebutuhan harimau. Dengan adanya harimau, hutan bebas dari jarahan manusia. Kayu-kayu dari pepohonannya terlindungi oleh harimau yang setiap hari berjaga keliling hutan. Begitu pula hutan, menyediakan makanan yang dibutuhkan oleh harimau sehari-hari. Kehidupan harimau dan hutan berjalan sangat harmonis.

Namun, keharmonisan itu rupanya membuat kijang iri. Sebab, kijang sering kali menjadi hewan yang paling banyak jadi korban karena bangsanya menjadi makanan empuk harimau yang lapar. Karena itu, kijang pun menyusun strategi agar keharmonisan harimau dan hutan jadi terpecah belah.

Maka, suatu kali, kijang pun berbisik pada pohon terbesar yang jadi wakil hutan. Kijang berkata, bahwa harimau sebenarnya adalah hewan yang mau untungnya sendiri. Hutan hanya diperdaya harimau. Sebab, tanpa harimau pun, sebenarnya hutan baik-baik saja.

Kijang juga melakukan hal yang sama pada harimau. Namun, agar tak mencolok, kijang menyuruh monyet untuk membisikkan hasutan pada harimau soal hutan. Maka, monyet pun membisiki harimau, bahwa selama ini harimau hanya dimanfaatkan hutan untuk menjaganya.

Mendengar hasutan itu, harimau dan hutan tiap hari kemudian jadi menjaga jarak satu sama lain. Keakraban yang terjalin harmonis selama ini jadi renggang. Hingga akhirnya, suatu hari harimau dan hutan bertengkar. Pohon pemimpin hutan merasa harimau hanya mau untungnya saja tinggal di hutan tanpa mau membantunya. Sebaliknya, harimau juga merasa, hutan hanya mengambil jasanya menjaga hutan tanpa mau memberikan hasil yang lebih padanya.

Pertengkaran keduanya pun menghebat. Maka, akhirnya harimau berjanji, ia akan keluar dari hutan untuk mencari hutan lain yang mau menampungnya. “Baik, aku akan pergi! Jangan pernah minta bantuanku lagi, hutan yang sombong!”

“Kamu yang sombong, mentang-mentang kuat dan ganas, jadi sok jagoan! Pergi sana, aku tak butuh kamu lagi!” sahut hutan.

Mendengar itu, kijang dan monyet diam-diam bersorak. Mereka sudah pasti akan segera terbebas dari ancaman harimau. Namun rupanya, itu tak berlangsung lama. Selama ini, manusia jarang masuk ke hutan itu karena takut ancaman harimau yang buas. Tetapi, karena harimau pergi dari hutan, manusia pun bebas menjebak harimau hingga berhasil ditangkap. Manusia pun tak takut lagi dengan harimau yang berhasil dikurung. Sejak saat itu pula, manusia mulai menjarah hutan. Kayu ditebangi. Pohon digunduli. Hewan-hewan liar—termasuk kijang dan monyet—ditangkap, ada yang dijual, ada yang dijadikan makanan. Akibat kejadian itu, hutan pun jadi berubah total. Tak ada lagi kicau burung indah, tak ada lagi hewan yang berkeliaran bebas, pohon pun banyak yang tumbang diambili kayunya. Semua menyesal. Akibat sebuah hasutan, hutan, harimau, dan semua isi hutan jadi mendapat imbas yang tak diinginkan.

Sahabat Luar Biasa,

Kadang kala kita lupa, pada orang-orang yang langsung dan tidak langsung berjasa pada kita. Padahal sebagai makhluk sosial, kita sejatinya bergantung satu sama lain. Memang, secara kedudukan, ada yang mengatur, ada yang memimpin, ada yang jadi bawahan. Tapi, semua punya peranan masing-masing. Dan, jangan lupa, semua ibarat puzzle, harus saling melengkapi. Tanpa ada satu komponen, kadang kita akan jadi kerepotan untuk meraih harmonisasi hidup.

Karena itu, jangan pernah iri dengan kedudukan orang lain yang lebih tinggi. Jangan pula memandang kedudukan rendah mereka yang ada di bawah. Sebab, harmonisasi antar-semua tersebut saling melengkapi. Ibarat hutan dan harimau, satu sama lain sebenarnya saling melindungi. Pun demikian kijang dan monyet, serta makhluk hidup lain di dalam hutan. Begitu salah satu komponen hilang, begitu mudahnya gangguan dari luar datang.

Inilah yang perlu kita terus ingat dalam setiap peran yang kita jalani di kehidupan. Apa pun peran yang kita miliki saat ini, jangan pernah posisikan diri sebagai “korban”. Tapi, jadikan diri sebagai salah satu komponen penyeimbang. Dengan begitu, kita bisa selalu bijak dalam menentukan pilihan. Dan, jangan lupakan pula soal kepedulian. Saat satu hal yang menjaga harmonisasi menghilang, bisa jadi suatu saat dampaknya akan segera sampai pada kita juga.

Mari, buka mata dan hati. Selalu jaga harmonisasi kehidupan. Apa pun peran yang kita lakoni saat ini, jalani dengan sepenuh hati. Bebaskan diri dari rasa iri dengki. Dengan begitu, kita akan jadi insan penuh arti yang bisa mengisi setiap keping harmonisasi hidup yang berkelimpahan. Sehingga, kebahagiaan sejati pun akan kita dapatkan.